Penulis:
Annisa Kamalia
NIM
180210402117
Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan
Puisi
merupakan ungkapan pikiran dan perasaan dari penyair atau si pembuat puisi
tersebut. Kemudian disusun sedemikian rupa dengan menggunakan diksi-diksi yang
tepat untuk memperkuat rasa isi puisi yang ditulis.
Muhammad
Hj. Salleh menyatakan pengertian puisi ialah sebuah bentuk karya sastra
yang kental dengan musik bahasa serta suatu kebijaksanaan oleh si penyair dan
tradisinya. Karena semua kekentalan itu, sesudah puisi tersebut dibaca akan
menjadikan kita lebih bijaksana.
Puisi
merupakan salah satu karya sastra yang dapat dianalisis melalui beberapa cara, dapat
dikaji struktur dan unsur-unsurnya. Puisi adalah struktur yang tersusun dari
bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Dapat pula dikaji jenis-jenisnya,
begitu juga titik pandang kesejarahannya.
Cara
untuk menganalisis puisi memang beragam. Cara-cara tersebut dapat kita sebut
dengan pendekatan. Dalam menganalisis puisi dapat dilakukan dengan menggunakan
pendekatan parafrase, emotif, historis, analitis, strata norma, kritik sosial,
sosiopsikologis, religiusitas, didaktis, atau menggunakan pendekatan
nilai-nilai budaya. Analisis puisi melalui pendekatan-pendekatan tersebut
bertujuan untuk mengetahui dan memahami suatu puisi sehingga dapat diketahui
bagian-bagian serta jalinannya secara nyata.
Dikemukakan
oleh Wellek (1968:150) bahwa puisi itu adalah sebab yang memungkinkan timbulnya
pengalaman. Setiap pengalaman seseorang itu sebenarnya hanya sebagian saja
dapat melaksanakan puisi. Maka dari itu, puisi sesungguhnya harus dimengerti
sebagai struktur norma-norma. Puisi tidak hanya merupakan satu sistem norma,
melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma
menimbulkan lapis norma di bawahnya.
Untuk
menganalisis puisi berjudul “Rindu” karya Alfida Ilma Maula ini penulis
menggunakan pendekatan strata norma. Pertama, penulis menganalisis menggunakan
lapis pertama yaitu lapis bunyi. Secara umum ketika membaca puisi yang
terdengar oleh pembaca puisi adalah suara. Namun, suara dalam pembacaan puisi
tentulah memiliki arti, bukan hanya sekedar suara. Kedua, lapis arti berupa
rangkaian fonem, suku kata, kata, frasa, dan kalimat. Semuanya itu merupakan
satuan-satuan arti. Rangkaian satuan-satuan arti tersebut menimbulkan lapis
ketiga, yaitu berupa latar, pelaku, objek-objek yang dikemukakan, dan dunia
pengarang yang berupa cerita atau lukisan. Keempat, lapis dunia yang dipandang
dari titik pandang tertentu yang tak perlu dinyatakan, tetapi terkandung di
dalamnya. Kelima, lapis metafisis, berupa sifat-sifat metafisis (yang sublime,
yang tragis, mengerikan atau menakutkan, dan yang suci), dengan sifat-sifat ini
seni dapat memberikan renungan kepada pembaca.
Teks puisi
Rindu
Karya : Alfida Ilma Maula
Ruang hampa terasa sahdu
Semua menumpuk menjadi
pilu
Ada rasa waktu itu
Hai kawan,
Aku ingin bercakap rindu
Mata ingin melihatmu
Rasa ini ingin bertemu
Meskipun waktu telah
berlalu
Percayalah
Aku tidak akan lupa kenangan
itu
Baju putih abu-abuku
Masih rapi untuk dapat
memelukmu
Temukan teman baru
Untuk dapat berbagi cerita
denganmu
Pengganti radio rusak di
kamarmu
Waktu SMA dulu
Berikut analisisnya:
1.
Lapis
Suara (sound stratum)
Sajak
tersebut berupa satuan-satuan suara: suara suku kata, kata, dan berangkai
merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu: suara frase dan suara kalimat. Ada juga
aliterasi dan asonansi dalam pembahasan lapis suara. Aliterasi merupakan
pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi; biasanya pada
awal kata/perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan
keindahan bunyi. Asonansi merupakan pengulangan bunyi vokal yang sama pada
kata/perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi. Pengulangan ini biasanya
menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan atau keindahan bunyi. Jadi
lapis bunyi dalam sajak itu ialah semua satuan bunyi yang berdasarkan konvensi
bahasa tertentu.
Dalam bait pertama hingga
akhir pada puisi “Rindu” karya Alfida, kebanyakan menggunakan asonansi “u”, terdapat
pada semua kata akhir pada bait. Asonansi “u” : sahdu, pilu, itu, rindu, melihatmu,
bertemu, berlalu dan lainnya. Pola sajak akhir bait ke-1: u, u, u, u. Pola
sajak akhir bait ke-2: an, u, u, u, u. Pola sajak akhir bait ke-3: ah, u, u, u.
Pola sajak akhir bait ke-4: u, u, u, u.
2. Lapis Arti (units of meaning)
Dalam
bait pertama, “Ruang hampa terasa sahdu”. Berarti menyatakan keadaan seseorang yang
sedang menikmati hampanya kehidupan. “semua menumpuk menjadi pilu”. Berarti kehampaan
kehidupan seseorang yang sedang dinikmatinya kini semakin menumpuk membuat pilu
(sedih). “ada rasa waktu itu”. Berarti mengingat perasaan seseorang kala itu
(dahulu).
Dalam
bait kedua, “Aku ingin bercakap rindu”, berarti seseorang yang ingin
menyampaikan isi hatinya yang sedang merindukan seseorang. “Mata ingin
melihatmu, rasa ini ingin bertemu”, berarti seseorang yang ingin melihat secara
langsung (ingin bertemu) dengan orang yang dirindukannya. “Meskipun waktu telah
berlalu”, berarti seseorang tersebut menyesal karena waktu yang dulu telah
berlalu.
Dalam
bait ketiga, “Percayalah, aku tidak akan lupa kenangan itu” berarti seseorang yang
selalu mengingat kenangan bersama orang yang dirindukannya. “Baju putih
abu-abuku, masih rapi untuk dapat memelukmu” berarti masa lalu seseorang
sewaktu SMA yang berharap untuk memeluk orang yang dirindukannya.
Dalam
bait keempat, “Temukan teman baru, untuk dapat berbagi cerita denganmu”,
berarti menemukan teman baru untuknya agar bisa berbagi cerita dengannya. “pengganti
radio rusak di kamarmu, waktu SMA dulu”, berarti teman baru menggantikan radio
rusak yang ada di kamarnya waktu SMA dulu.
3. Lapis Ketiga
Lapis
satuan arti menimbulkan lapis yang ketiga, berupa objek-objek yang dikemukakan,
latar, pelaku, dan dunia pengarang. Objek-objek yang dikemukakan : aku dan kamu.
Pelaku atau tokoh : aku, kawan (kamu). Latar waktu : kehidupan tokoh aku saat
ini yang mengingat masa lalunya. Latar tempat : (tidak dijelaskan secara
langsung oleh pengarang (eksplisit)). Latar suasana : sedih, menyesal. Dunia
pengarang adalah ceritanya. Si pengarang mengungkapkan dirinya sendiri sebagai
tokoh “aku”. Ini adalah kisah si pengarang yang kehidupannya hampa dihantui
kerinduan pada seseorang di masa lalunya.
4. Lapis Dunia
Pada
bait pertama, dipandang dari sudut pandang tertentu “Ruang hampa terasa sahdu.
Semua menumpuk menjadi pilu. Ada rasa waktu itu”, mengungkapkan bahwa keadaan
tokoh aku dalam puisi tersebut sedih, pilu, dan merindukan seseorang . Bait
kedua menyatakan suasana rindu, ingin melihat, dan bertemu. Tokoh aku
benar-benar merindukan seseorang di masa lalunya dan menyesali karena waktu
telah berlalu. Pada bait ketiga terdapat sajak “Baju putih abu-abuku. Masih
rapi untuk dapat memelukmu”, menggambarkan betapa rindunya hingga ingin
memeluknya (orang yang dirindukan tokoh Aku). Bait keempat terdapat sajak “Temukan
teman baru” Tokoh Aku ingin menyampaikan kepada orang yang dirindukannya bahwa
ia ingin berbagi cerita dengannya.
5. Lapis Metafisis
Lapis
metafisis, lapis ini yang menyebabkan pembaca berkontemplasi. Dalam sajak ini
lapis itu berupa penyampaian kerinduan yang mendalam; yaitu tokoh aku ini
menyampaikan semua keadaan isi hatinya menghadapi kerinduan yang menghantuinya.
Sumber
Referensi
Pradopo, Rachmat Djoko.
2009. Pengkajian
Puisi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar