Selasa, 12 November 2019

Analisis Strata Norma Puisi "Rindu" Karya Alfida Ilma Maula




Penulis: Annisa Kamalia
NIM 180210402117
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Puisi merupakan ungkapan pikiran dan perasaan dari penyair atau si pembuat puisi tersebut. Kemudian disusun sedemikian rupa dengan menggunakan diksi-diksi yang tepat untuk memperkuat rasa isi puisi yang ditulis.
Muhammad Hj. Salleh menyatakan pengertian puisi ialah sebuah bentuk karya sastra yang kental dengan musik bahasa serta suatu kebijaksanaan oleh si penyair dan tradisinya. Karena semua kekentalan itu, sesudah puisi tersebut dibaca akan menjadikan kita lebih bijaksana.
Puisi merupakan salah satu karya sastra yang dapat dianalisis melalui beberapa cara, dapat dikaji struktur dan unsur-unsurnya. Puisi adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Dapat pula dikaji jenis-jenisnya, begitu juga titik pandang kesejarahannya.
Cara untuk menganalisis puisi memang beragam. Cara-cara tersebut dapat kita sebut dengan pendekatan. Dalam menganalisis puisi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan parafrase, emotif, historis, analitis, strata norma, kritik sosial, sosiopsikologis, religiusitas, didaktis, atau menggunakan pendekatan nilai-nilai budaya. Analisis puisi melalui pendekatan-pendekatan tersebut bertujuan untuk mengetahui dan memahami suatu puisi sehingga dapat diketahui bagian-bagian serta jalinannya secara nyata.
Dikemukakan oleh Wellek (1968:150) bahwa puisi itu adalah sebab yang memungkinkan timbulnya pengalaman. Setiap pengalaman seseorang itu sebenarnya hanya sebagian saja dapat melaksanakan puisi. Maka dari itu, puisi sesungguhnya harus dimengerti sebagai struktur norma-norma. Puisi tidak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma di bawahnya.
Untuk menganalisis puisi berjudul “Rindu” karya Alfida Ilma Maula ini penulis menggunakan pendekatan strata norma. Pertama, penulis menganalisis menggunakan lapis pertama yaitu lapis bunyi. Secara umum ketika membaca puisi yang terdengar oleh pembaca puisi adalah suara. Namun, suara dalam pembacaan puisi tentulah memiliki arti, bukan hanya sekedar suara. Kedua, lapis arti berupa rangkaian fonem, suku kata, kata, frasa, dan kalimat. Semuanya itu merupakan satuan-satuan arti. Rangkaian satuan-satuan arti tersebut menimbulkan lapis ketiga, yaitu berupa latar, pelaku, objek-objek yang dikemukakan, dan dunia pengarang yang berupa cerita atau lukisan. Keempat, lapis dunia yang dipandang dari titik pandang tertentu yang tak perlu dinyatakan, tetapi terkandung di dalamnya. Kelima, lapis metafisis, berupa sifat-sifat metafisis (yang sublime, yang tragis, mengerikan atau menakutkan, dan yang suci), dengan sifat-sifat ini seni dapat memberikan renungan kepada pembaca.
Teks puisi
Rindu
Karya : Alfida Ilma Maula
Ruang hampa terasa sahdu
Semua menumpuk menjadi pilu
Ada rasa waktu itu

Hai kawan, 
Aku ingin bercakap rindu
Mata ingin melihatmu
Rasa ini ingin bertemu
Meskipun waktu telah berlalu

Percayalah
Aku tidak akan lupa kenangan itu
Baju putih abu-abuku
Masih rapi untuk dapat memelukmu

Temukan teman baru
Untuk dapat berbagi cerita denganmu
Pengganti radio rusak di kamarmu
Waktu SMA dulu 

Berikut analisisnya:
1.     Lapis Suara (sound stratum)
Sajak tersebut berupa satuan-satuan suara: suara suku kata, kata, dan berangkai merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu: suara frase dan suara kalimat. Ada juga aliterasi dan asonansi dalam pembahasan lapis suara. Aliterasi merupakan pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi; biasanya pada awal kata/perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi. Asonansi merupakan pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata/perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi. Pengulangan ini biasanya menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan atau keindahan bunyi. Jadi lapis bunyi dalam sajak itu ialah semua satuan bunyi yang berdasarkan konvensi bahasa tertentu.
Dalam bait pertama hingga akhir pada puisi “Rindu” karya Alfida, kebanyakan menggunakan asonansi “u”, terdapat pada semua kata akhir pada bait. Asonansi “u” : sahdu, pilu, itu, rindu, melihatmu, bertemu, berlalu dan lainnya. Pola sajak akhir bait ke-1: u, u, u, u. Pola sajak akhir bait ke-2: an, u, u, u, u. Pola sajak akhir bait ke-3: ah, u, u, u. Pola sajak akhir bait ke-4: u, u, u, u.

2. Lapis Arti (units of meaning)
Dalam bait pertama, “Ruang hampa terasa sahdu”. Berarti menyatakan keadaan seseorang yang sedang menikmati hampanya kehidupan. “semua menumpuk menjadi pilu”. Berarti kehampaan kehidupan seseorang yang sedang dinikmatinya kini semakin menumpuk membuat pilu (sedih). “ada rasa waktu itu”. Berarti mengingat perasaan seseorang kala itu (dahulu).
Dalam bait kedua, “Aku ingin bercakap rindu”, berarti seseorang yang ingin menyampaikan isi hatinya yang sedang merindukan seseorang. “Mata ingin melihatmu, rasa ini ingin bertemu”, berarti seseorang yang ingin melihat secara langsung (ingin bertemu) dengan orang yang dirindukannya. “Meskipun waktu telah berlalu”, berarti seseorang tersebut menyesal karena waktu yang dulu telah berlalu.
Dalam bait ketiga, “Percayalah, aku tidak akan lupa kenangan itu” berarti seseorang yang selalu mengingat kenangan bersama orang yang dirindukannya. “Baju putih abu-abuku, masih rapi untuk dapat memelukmu” berarti masa lalu seseorang sewaktu SMA yang berharap untuk memeluk orang yang dirindukannya.
Dalam bait keempat, “Temukan teman baru, untuk dapat berbagi cerita denganmu”, berarti menemukan teman baru untuknya agar bisa berbagi cerita dengannya. “pengganti radio rusak di kamarmu, waktu SMA dulu”, berarti teman baru menggantikan radio rusak yang ada di kamarnya waktu SMA dulu.
3. Lapis Ketiga
Lapis satuan arti menimbulkan lapis yang ketiga, berupa objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, dan dunia pengarang. Objek-objek yang dikemukakan : aku dan kamu. Pelaku atau tokoh : aku, kawan (kamu). Latar waktu : kehidupan tokoh aku saat ini yang mengingat masa lalunya. Latar tempat : (tidak dijelaskan secara langsung oleh pengarang (eksplisit)). Latar suasana : sedih, menyesal. Dunia pengarang adalah ceritanya. Si pengarang mengungkapkan dirinya sendiri sebagai tokoh “aku”. Ini adalah kisah si pengarang yang kehidupannya hampa dihantui kerinduan pada seseorang di masa lalunya.
4. Lapis Dunia
Pada bait pertama, dipandang dari sudut pandang tertentu “Ruang hampa terasa sahdu. Semua menumpuk menjadi pilu. Ada rasa waktu itu”, mengungkapkan bahwa keadaan tokoh aku dalam puisi tersebut sedih, pilu, dan merindukan seseorang . Bait kedua menyatakan suasana rindu, ingin melihat, dan bertemu. Tokoh aku benar-benar merindukan seseorang di masa lalunya dan menyesali karena waktu telah berlalu. Pada bait ketiga terdapat sajak “Baju putih abu-abuku. Masih rapi untuk dapat memelukmu”, menggambarkan betapa rindunya hingga ingin memeluknya (orang yang dirindukan tokoh Aku). Bait keempat terdapat sajak “Temukan teman baru” Tokoh Aku ingin menyampaikan kepada orang yang dirindukannya bahwa ia ingin berbagi cerita dengannya.
5. Lapis Metafisis
Lapis metafisis, lapis ini yang menyebabkan pembaca berkontemplasi. Dalam sajak ini lapis itu berupa penyampaian kerinduan yang mendalam; yaitu tokoh aku ini menyampaikan semua keadaan isi hatinya menghadapi kerinduan yang menghantuinya.

Sumber Referensi
Pradopo, Rachmat Djoko. 2009. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


Senin, 11 November 2019

ANALISIS PUISI "SAJAK HATI IBU" KARYA DINDA AYU LAILIA FITRI BERDASARKAN STRATA NORMA


ANALISIS PUISI "SAJAK HATI IBU" KARYA DINDA AYU LAILIA FITRI BERDASARKAN STRATA NORMA 

Nama              : Bagas Yudha Prawira
NIM                : 180210402099

SAJAK HATI IBU
Karya: Dinda Ayu Lailia Fitri

Selalu kuingat lembut senyum tersuguh
Alunan kasih sayang membalut tubuh
Jemari halus membelai manja
Antarkan diri dalam dekapan cinta

Kasihmu bertaburan di langit malam
Hangatkan diri dari kisah kasih kelam
Andai waktu dapat diatur dan diubah
Takkan ku biarkan kau berpaut dalam lelah

Ibu..
Ibarat embun pagi pelepas dahaga hati
Bagai selaksa bunga warnai musim semi
Untukmu kasih sayangku
tak terhingga ditelan waktu

Analisis puisi berdasarkan strata norma
1.      Lapis Suara
Puisi ini memiliki pola suara yang hampir sama di setiap larik per baitnya. Setiap bait puisi ini selalu menyamakan pengakhiran suara di larik pertama dan kedua, pembedaan ada di larik ketiga dan keempat namun larik ketiga dan keempat pengakhirannya juga sama. Pada bait 1 larik pertama dan kedua menggunakan pola aliterasi yang diakhiri dengan bunyi fonem h yaitu tersuguh dan  tubuh dan pada larik kedua dan ketiga bait 1 menggunakan pola asonansi dengan bunyi vocal a yaitu manja dan cinta. Sedangkan pada bait kedua, setiap larik diakhiri dengan pola aliterasi, hanya saja aliterasi pada larik 1 dan 2 berbeda dengan aliterasi pada larik 3 dan 4. Pada larik 1 dan 2 diakhiri dengan bunyi fonem m yaitu malam dan kelam, sedangkan pada larik 3 dan 4 diakhiri dengan bunyi fonem h yaitu diubah dan lelah. Bait ketiga merupakan kebalikan dari bait kedua. Bait ketiga selalu mengakhiri dengan asonansi. Kata Ibu di bait ketiga merupakan pengantar untuk membawa penikmat puisi ini ke perumpamaan yang diutarakan penyair. Larik 1 dan 2 bait ketiga ini menggunakan asonansi dengan bunyi fonem i yaitu hati dan  semi, sedangkan larik 3 dan 4 menggunakan asonansi dengan bunyi fonem u yaitu sayangku dan waktu
2.      Lapis Arti
Pada bait pertama, penyair menggambarkan bahwa orang yang dimaksud di dalam puisi itu sedang menikmati kenangan yang pernah diberikan oleh Ibunya. Diawali dengan Selalu kuingat senyum lembut tersuguh, ini berarti seseorang yang ada di dalam puisi itu memiliki ingatan yang membekas tentang seperti apa senyum Ibunya itu. Setelah larik pengantar ini, penyair melanjutkan kenangan yang telah diberikan Ibunya berupa kasih saying yang semakin ditekankan melalui larik Jemari halus membelai manja. Hal inilah yang bias menciptakan suasana cinta seorang Ibu yang ditulis oleh penyair dengan larik antarkan diri dalam dekapan cinta.
Pada bait kedua seseorang itu merasa bahwa apa yang diberikan ibu kepadanya itu sangatlah istimewa. Hal ini digambarkan di larik kedua dan ketiga bahwa kasih ibu itu bertaburan di langit malam dan bisa menghangatkan jiwa orang itu juga. Sehingga orang yang dimaksud di dalam puisi itu ingin membalas budi kepada ibunya. Jelas tergambar di larik 3 dan 4 bahwa apabila waktu bisa diputar kembali maka dia tidak akan membiarkan ibunya itu bergaul dengan rasa lelah
Pada bait ketiga merupakan bait yang berisi pengandaian betapa mulianya sosok Ibu. Jelas tergambar pada larik kedua dan ketiga, bahwa pengandaian ibu dengan bunga dan embun merupakan pengandaian yang mulia karena itu merupakan simbol keindahan dan kesejukan. Larik ketiga dan keempat merupakan penguat betapa mulianya Ibu itu, bahwa kasih saying yang diberikan oleh Ibu tidak akan habis ditelan waktu
3.      Lapis Objek
Pada lapis objek menimbulkan latar suasana yang dikemukakan oleh pengarang yaitu suasa haru. Pada puisi tersebut banyak pengandaian betapa mulianya Ibu itu beserta apa yang telah diberikan kepada anaknya. Dunia pengarang menekankan pada pengalaman dunianya dalam hal kasih saying Ibu. Seseorang yang digambarkan di dalam puisi ini mempunyai rasa cinta yang besar kepada Ibunya dan dia sangat memuliakannya. Kecintaan orang yang ada pada puisi tersebut tergambar pada tiap baris pada puisi. Setiap baris pada puisi ini selalu meninggikan derajat Ibu dengan pengandaian-pengandaian yang sangat mulia.
4.      Lapis Dunia
Lapis dunia pada puisi ini dapat diketahui melalui penggambaran penyair dalam bait 1 yang juga dialami oleh setiap orang. Yaitu mengenai kebaikan Ibu yang seringkali dengan murah hati menyebarkan senyum kepada anak-anaknya. Kebaikan lain juga tergambar pada kelembutan Ibu dalam memperlakukan kita. Bahkan selain yang digambarkan oleh penyair, sebenarnya kebaikan Ibu itu masih banyak dan tak terbatas
5.      Lapis Metafisis
Lapis metafisis yang ada di puisi ini sangatlah jelas. Puisi ini menguatkan pada kasih sayang Ibu. Ibu merupakan sosok yang sangat mulia, tidak ada batasan mengenai apa yang telah diberikan Ibu kepada anaknya. Maka, sudah semestinya bahwa sebagai anak harus memuliakan setinggi tingginya terhadap sosok Ibu. Sebagai anak juga harus berusaha untuk bisa membalas kebaikan Ibu dan selalu mengingat bahwa kasih sayang Ibu itu tak terhingga sepanjang waktu. Dengan hal ini, maka tidak ada alasan untuk tidak menghormati seorang Ibu.